#MINIMALISM by SKIP-CARE
Holla!
Gaya hidup #Minimalism lagi nge-trend banget setidaknya dalam 3 tahun terakhir di mana banyak orang mulai mengadopsi gaya hidup ini. Sempat heboh juga karena kemuculan bukunya Fumio Sasaki yang "Goodbye Things." Tetapi, sebenarnya apa yang disebut dengan gaya hidup #Minimalism? #Minimalism sendiri kalau kita artikan secara harfiah adalah living with less. Dalam website moneyunder30.com disebutkan :
For many minimalists, the philosophy is about getting rid of excess stuff and living life based on experiences rather than worldly possessions. You can probably see how having less stuff can also free up your life financially.
Gue sendiri baru memulai gaya hidup ini di tahun 2020. Belum sempurna karena masih belajar. Tetapi, rasanya nggak ada yang salah kalau sekadar sharing. Harapannya nanti artikel ini bisa gue update dalam kurun waktu tertentu. Sebenarnya, konsep #Minimalism yang gue adopsi adalah sesederhana:
- Tidak semua barang yang gue punya adalah yang gue butuhkan. Be rich-minded people!
- Menjual preloved stuff untuk mendapatkan a little extra cash. Misalnya skincare atau make up products yang tidak cocok bisa dijual. Sehingga tidak menjadi sampah.
- Berhenti hoarding atau kebiasaan menumpuk barang. Jangan bikin sumpek ruangan. Rusak? Perbaiki atau buang. Baca habis semua buku yang sudah dibeli.
- Untuk sampah anorganik bekas beauty products maupun personal care lainnya, bisa dikirim ke #Waste4Change dengan cara klik Send Your Waste maupun Dropbox.
- Hindari metode pembayaran PayLater maupun credit. Mampu beli dan memang butuh, belilah. Tidak mampu, jangan beli. Be debt free and financially secured!
- Gue nggak perlu hijab berwarna sama dengan model yang berbeda. Yang gue miliki sudah cukup.
- Stop wasting time! Maksimalkan bullet journal untuk membuat time schedule maupun target harian, mingguan, hingga bulanan. Unless being productive, have some rests!
Sekilas kelihatannya ribet, ya? Padahal nggak kok. Gue hanya berusaha menjabarkan setiap keputusan dengan detail termasuk tujuannya. Karena, #Minimalism is not just about living with less stuffs but rather living with a purpose. Kita fokus hidup dengan “experiences” daripada “stuffs”. Toh, buat apa kalau kita cuma hemat tapi kita sebenarnya nggak tau tujuan kita apa? Semakin kita tau tujuan kita menerapkan gaya hidup #Minimalism, we got a higher chance to live less-stressfully and a lot happier.
Beberapa hari lalu gue sempet nonton YouTube acaranya Telkomsel gitu. Salah satu narasumbernya, Desi Anwar. Tertarik dengan judulnya “Poor Mindset vs Rich Mindset" yang udah gue embed linknya di bawah ini.
Sebenarnya, kalau gue bisa bilang mindset adalah sebuah faham, ini bukanlah faham baru. Tetapi, yah namanya manusia. Terkadang kita seolah masih butuh pengakuan dari orang lain. Sehingga, terkadang kita pun membeli sesuatu yang sebenarnya tak lain hanyalah untuk memuaskan ego sosial kita saja.
My Relationship with Skincare
Termasuk soal skin care. Sekitar 10 tahun yang lalu, adalah titik terendah gue merasa sangat tidak pede dengan penampilan. Walaupun secara fisik gue sehat dan alhamdulillah tanpa kekurangan suatu apapun. Hanya karena masalah hormonal yang tidak bisa gue hindari, low self-esteem attacked me. Jerawat. Entah bagaimana saat itu dunia gue berputar 180 derajat. Sewaktu gue masih kecil, gue terbiasa dipuji karena wajah gue yang sedikit Arab-India dengan bola mata yang bulat dan besar, bulu mata yang panjang dan lentik, alis tebal dan melengkung, dan rambut hitam ikal panjang yang berkilau. Semuanya yang gue dapatkan alami sedari lahir. Tanpa bermaksud sombong, gue hanya menceritakan memori masa kecil gue. Entahlah, setiap ibu yang bahkan gue ga tau namanya pun selalu nggak tahan untuk nggak mencubit pipi gue yang tembab bahkan mencium pipi gue sampai rasanya bekas lipstick nya terasa lengket di pipi.
Semua berubah ketika gue mulai punya jerawat. Awalnya, gue sempat ke klinik kecantikan. Sebulan setelah perawatan, kondisi kulit wajah nyaris kembali seperti semula. Bahkan lebih cerah. Tetapi, sebulan berikutnya, jerawat yang tadinya hanya di bagian dahi, malah jadi rata satu muka. Mengerikan lah pokoknya. Ada dua kalimat yang paling gue ingat sampai sekarang:
- “Sayang banget cantik-cantik jerawatnya banyak.”
- “Pantesan namanya Bintang, wajahnya banyak ‘bintang’ nya.”
Pernah suatu hari gue pulang sekolah dan nangis sejadi-jadinya. Kenapa semua orang begitu tega sama gue rasanya? Apakah mereka nggak sadar akan ucapan mereka sendiri? Sampai-sampai Papa menawarkan untuk operasi plastik. Saking nggak tau harus menangani itu gimana lagi. Pun, soal skin care juga belum se-booming sekarang.
Tahun 2012-2013 gue sekolah ke Jepang. Jujur, ini salah satu berkah dalam hidup. Bukan hanya soal akademik, tetapi penampilan. Memang, sepulang dari Jepang gue mengalami kenaikan berat badan sampai 6kg. Tapi gue ga peduli. Nggak merasa berat badan merusak penampilan sebagaimana yang dilakukan jerawat. Pulang dari Jepang, entah gimana gue jadi lebih putih, walaupun masih ada beberapa bekas jerawat. Tetapi setidaknya, sudah tidak ada lagi jerawat aktif. Padahal di sana gue hanya pakai sunscreen dan pelembab. Karena mau nggak mau harus menyesuaikan kondisi cuaca yang berubahnya seringkali ekstrem.
Tahun 2014, ketika gue masuk kuliah, mulai lah skincare products ini ada gaungnya. Gue belajar pelan-pelan sampai bekas jerawat gue mulai pudar. Hingga akhirnya gue kenal make-up di tahun 2015. Sebenarnya waktu di Jepang gue juga kenal make-up tapi hanya untuk fun aja. Sesekali. Itupun tidak mengikuti urutan maupun teknik yang baik dan benar. Tapi, intinya, gue pecinta eye make-up. Walaupun gue punya masalah di complexion, justru yang gue pelajari duluan adalah eye make-up. Entah kenapa rasanya ingin membuat orang tertuju ke mata. Sampai akhirnya tahun 2017 mulai pede pakai make up setiap hari dan dengan hasil yang sudah jauh lebih baik, dari segi color maupun complexion.
Setelah 6 tahun perjuangan pakai skincare, di tahun 2018 gue bebas dari jerawart dan bekasnya yang mengerikan. Sebelumnya gue pakai rangkaian Wardah Acne Series. Sebulan atau dua bulan sekali facial bareng temen-temen kuliah. Waktu itu sempat hype juga soal facial. Gue sering banget facial di Larissa, Surabaya. Seringnya gue ambil treatment yang sekaligus untuk mengangkat sel kulit mati di wajah. Karena keberhasilan skin care itu, gue jadi merasa bahwa kulit gue butuh skincare products setiap saat untuk menjaga kondisi seperti sekarang. Dalam pikiran gue, tanpa skincare akan ada kemungkinan kulit wajah gue kembali seperti dulu :’(
My Decision on SKIPCare to start #Minimalism Lifestyle
Source: KlubWanita.com |
Gue juga jadi sering sharing dan dijadikan tempat konsultasi teman-teman untuk ngasih tips seputar skin care treatment. Walaupun, gue gak menjanjikan apapun. Tetapi, kebiasaan gue layering skin care ini gak bisa dipungkiri jadi salah satu sumber pengeluaran terbesar. Sehingga, gue bertanya lagi ke diri sendiri.
“Sebenarnya gue butuh semua ini atau nggak sih?”
Sesekali gue coba SKIPCare. Penasaran aja, tanpa mereka-mereka ini kulit gue bakal kenapa-kenapa nggak, ya?
- Skip Hydrating Toner
Gue memang pecinta hydrating toner. Karena kulit gue combination to oily skin type. Gue selalu merasa bahwa kulit berminyak itu sebenarnya dehidrasi atau kurang air. Di mana kadar minyak tidak seimbang dengan kadar air. Sehingga gue selalu membutuhkan hydrating toner di pagi dan malam hari. Biasanya, dalam 1 tahun gue menghabiskan 2 botol hydrating toner. Botol ke-3 biasanya berlanjut hingga beberapa bulan di tahun berikutnya. Nggak terlalu boros juga sih hitungannya, tapi bagi gue ini tetap menantang, bisa nggak sih setahun benar-benar 1 botol aja? Kalaupun 2 botol, botol ke-2 harus bertahan sampai setidaknya 3 bulan di tahun berikutnya.
Akhirnya gue iseng lah, satu hari nggak pakai skincare selain facial wash. Hasilnya, pas bangun tidur, kulit wajah gue ga berminyak sama sekali. Tapi juga nggak terasa kering. Wajah gue juga nggak terlihat kusam sama sekali. Hydrating toner yang gue pake sebelumnya adalah Innisfree Jeju Volcanic Toner. Sedangkan yang gue pake sekarang adalah Laneige Skin Refiner Light.
- Mengganti morning facial wash dengan satu kapas micellar water
Awalnya gue memulai SKIPCare routine ini untuk menghemat facial wash supaya bisa tahan lebih dari 6 bulan. Tetapi, gue rasa ada baiknya mulai tahun 2020 ini gue akan beralih ke cleansing balm lokal supaya bisa mengurangi penggunaan kapas dan mengurangi residu sampah beauty products ke depannya.
- Skip Essence dan Serum
Gue sebenarnya heran juga karena rata-rata produk ini mengklaim untuk melembabkan, mencerahkan, dan lain sebagainya. Tapi sejauh ini manfaatnya memang hanya seputar itu. Untuk tekstur kulit, sejujurnya exfoliation lebih berperan. Pun kalau masalah bopeng halus (yang mungkin orang lain juga ga notice) gue hanya terima aja sampai kalau suatu saat ada rezeki lebih bisa melakukan laser treatment. But that’s not a compulsory goal. Akhirnya, gue pikir kenapa nggak gue coba skip? Kalaupun butuh kelembaban wajah, aloe vera soothing gel gue sudah cukup mengunci kelembaban kulit. Nggak bikin iritasi. Plus, hanya butuh sebutir jagung.
SKIPCare di atas biasanya gue lakukan 2-3 kali dalam seminggu. Saat weekend gue akan menutup Skincare mingguan dengan pakai clay mask. Gue rasa clay mask berperan penting dalam membersihkan pori-pori dari sebum berlebih sekaligus membantu detoxification.
Jadi, apakah gue akan tetap melakukan layering skin care? YES. Tetapi hanya saat kulit gue benar-benar membutuhkannya saja. Kalau kulit gue dalam keadaan normal, gue bisa melakukan SKIPCare untuk menghemat penggunaan produk. Sebenarnya, kulit kita ini cukup pintar kok untuk menjaga dirinya sendiri hehehe. Jadi, jangan melulu dijejelin skincare saat kulit kita tidak benar-benar membutuhkannya. Kalau gue merasa kulit gue cerah, ya gue ga butuh essence. Kalau gue merasa kulit gue gak kering banget sampe ngelupas ga gue ga butuh serum, aloe vera gel aja cukup. Kalau kulit gue kadar minyaknya masih normal ya gue ga butuh hydrating toner. Cuci muka pakai air atau bersihkan dengan micellar water dan kapas sudah cukup.
Pernah baca artikel di Female Daily, yang mohon maaf nggak bisa gue cantumkan linknya di sini. Tetapi judulnya itu berkaitan dengan "skip-care" hydrating toner selama kurun waktu 2 minggu. Intinya skincare philosophy itu ada 3: Cleanse - Moisture - Protect.
Kalau kita sudah menemukan produk-produk yang tepat untuk ketiga skincare philosophy itu, maka sebenarnya kulit kita dalam keadaan baik-baik saja. SKIPCare apapun yang gue lakukan pada akhirnya kulit gue tetap butuh proteksi dari sinar UV bahkan dalam ruangan sekalipun. Itu sebabnya, apapun yang terjadi gue nggak boleh skip sunscreen dan selalu usahakan produk make-up yang mengandung spf in case gue butuh menghemat sunscreen.
Halo ka Bintang! Bener banget akupun lagi berusaha melakukan skipcare ini. Rasanya lebih enak jg lebih hemat, lebih ga banyak produk di rak, dan ga terlalu banyak sampahnya jg. Kayanya memang Jepang tuh terkenal akan minimalismnya ya ka?
ReplyDeleteHi, Kak Meilinda! Maaf baru sempat balas komennya, yaa. Terima kasih sudah berkunjung :) Yep! betul. Lebih hemat dan efisien. Nggak stress mikirin sisa produk yang harus dihabiskan sebelum PAO/ED nya lewat haha. Tetapi, bukan berarti kalau kita butuh produk tambahan berarti salah juga. Pada intinya, yang terpenting kita tahu dan sadar yang kita pakai untuk tujuan apa dan mengatasi permasalahan apa, bukan? Jepang yang paling familiar buat aku soal minimalism karena aku pernah mengalami first-hand. Tetapi, konsep lifestyle seperti ini sudah banyak diadopsi oleh masyarakat dunia secara luas, kok Kak.
Delete