Mengapa Kita Gampang Marah, Ya? | Hot-Cold Empathy Gap
Holla!
Apa kabar semuanya? Di postingan kali ini, mungkin dari judulnya bakal ada bahasan yang serius. Tetapi, gue harap kalian dalam keadaan siap membaca dan tenang. Just go grab your tea or coffee, your bisquit, or anything comforts you. Sejujurnya, postingan ini gue angkat karena keprihatinan gue terhadap situasi dan kondisi di sosial media saat ini. Sebelumnya disclaimer bahwa gue bukan psikolog atau sesorang yang ahli dalam bidang psikologi. Bukan juga orang yang paling mengerti semuanya. Gue menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil baca beberapa artikelterkait. Dengan diangkatnya tulisan ini, harapan gue adalah semoga setelah baca ini, kalian bisa setidaknya merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Keep on reading!
Source: themotionmachine.com |
Mengapa kita gampang marah dan emosi?
Kalian pernah nggak, sih ngerasa ada hari-hari di mana kalian benar-benar merasa sangat mudah marah dan emosi dengan perkataan dan perbuatan orang lain. Mungkin ada faktor-faktor tertentu yang bisa segera kalian sadari seperti misalnya Pre-Menstruation Syndrome (PMS) bagi cewek dan Irritable Male Syndrome (IMS) bagi cowok. Di mana kedua hal tersebut adalah kondisi yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan hormon dalam tubuh. Dalam istilah medis juga dikenal istilah hipertiroidisme, yaitu kondisi di mana kelenjar tiroid memprodksi hormon tiroid terlalu banyak. Sehingga, pada saat kondisi hormon tiroid terlalu aktif, kita akan menjadi sangat mudah marah bahkan berteriak pada orang lain.
Insomnia Source: topcareer.id |
Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa insomnia juga jadi salah satu penyebabnya. Kondisi kurang tidur ini dapat menyebabkan perasaan lelah, mudah tersinggung, sakit kepala, dan sulit berkonsentrasi. Bayangin aja, kita udah susah tidur, bangun dalam keadaan badan lelah dan sakit punggung, ngantuk, pusing, dan lain sebagainya, kemudian ada hal yang memicu emosi kita. Bagaimana kalian akan bertindak?
Tapi, pernah nggak sih kalian ngerasa sebetulnya kalian sadar hal tersebut "sepele"? Tetapi, tetap aja kalian nggak bisa melawan perasaan marah dan tersinggung itu. Entah dengan kalian lampiaskan maupun kalian pendam sendiri. Ternyata, gampang marah adalah salah satu gejala depresi yang jarang diketahui. Marah adalah bagian dari sifat manusiawi. Tetapi, yang jadi masalah adalah jika kemarahan yang gampang meledak dan terjadi terus-menerus serta berulang-ulang. Bahkan untuk persoalan "sepele" pun bisa memicu emosi dan amarah kita. Perlu ditekankan di sini, depresi tidak sama dengan gila. Orang normal manapun juga sangat mungkin mengalami depresi karena kondisi kesehatan mental manusia bersifat dinamis. Tergantung dari bagaimana kita menyikapi perubahan di sekitar kita, yang seringkali terjadi secara mendadak. Sehingga, marah yang dianggap sebagai gejala depresi adalah marah yang meledak dan sulit dikendalikan. Sehingga, solusinya adalah dengan menemui psikolog maupun psikiater jika level nya sudah lanjut dan perlu diberikan obat maupun terapi khusus.
Apa itu Hot-Cold Empathy Gap?
Hot-Cold Empathy Gap adalah kondisi atau state di mana seseorang dan orang lainnya memiliki perasaan dan frekuensi yang berbeda. Di satu sisi, orang yang berada dalam kondisi hot state akan cenderung berpikir secara irasional dalam menghadapi sesuatu yang ia hadapi. Entah dengan marah, sedih, kesal, emosi, dan lain-lain. Sedangkan orang yang berada pada posisi cold state akan cenderung menganggap dirinya berpikir rasional terhadap hal yang dialami oleh orang yang berada pada hot state. Kesenjangan perasaan dan frekuensi inilah, yang disebut dengan “Hot-Cold Empathy Gap”. Ada 2 jenis hot-cold empathy gap, yaitu: "Hot-to-Cold" empathy gap dan "Cold-to-Hot" empathy gap.
4 The Hot-Cold Empathy Gap Source: researchgate.net |
Sebagai contoh, kalian pernah nggak sih dalam keadaan super emosi. Kemudian datang orang-orang di sekitar yang menganggap bahwa perilaku kita berlebihan? Padahal bagi kita saat itu, tindakan kita cenderung kita anggap wajar. Kalian semakin kesal karena rasanya mereka nggak bisa berempati terhadap kekesalan yang sedang kalian alami. Berpikir bahwa tidak ada yang mau mendengar dan mengerti perasaan kita. Pada kondisi inilah kita mengalami yang namanya "Hot-to-Cold" empathy gap. Di mana kita cenderung mengabaikan fakta bahwa perilaku kita saat itu sangat dipengaruhi dengan kondisi internal kita saat itu (marah, sedih, kesal, dsb.).
Tapi, setelah kita melampiaskan segalanya. Entah dengan memaki, melempar barang, memukul meja, menangis tersedu-sedu atau tindakan lainnya yang dianggap orang lain berlebihan, kita mereda. Mulai tenang dan berpikir kembali. “Gue tadi semarah itu memang nya masalahnya sebesar apa, sih? Kok gue lebay banget, ya?” Kondisi "cool off" ini sangat mungkin kita alami, jika saja kita memilih untuk mengambil delay dalam mengambil tindakan.
Di sisi lain, ada pula "Cold-to-Hot" empathy gap, yaitu kondisi sebaliknya di mana orang yang berada pada "cold" state akan cenderung mengabaikan dan tidak mengapresiasi perilaku dan perasaan mereka yang berada pada "hot" state. Pernah dengar teman kalian ada yang bicara begini?
Ah, lu masih mending cuma ngalamin gitu aja, gue pernah ya ngalamin yang lebih parah dari lo.
Teman kalian itulah yang disebut berada pada "cold" state. Mengapa? Karena mereka berbicara begitu dalam kondisi "cold" dan rasanya sulit untuk berimajinasi kembali bahkan kepada perasaan dan perilakunya sendiri saat pada kondisi "hot".
Bagaimana Hot-Cold Empathy Gap bisa terjadi?
Dikutip dari laman behavioraleconomics.com, disebutkan bahwa menurut Loewenstein, sulit bagi manusia untuk memprediksi bagaimana perilaku mereka di masa depan. Hot-cold empathy gap ini terjadi ketika orang menganggap remeh pengaruh dari visceral states seperti marah, sakit, atau lapar terhadap perilaku atau preferensi (dalam bertindak). Visceral states yang dimaksud oleh Loewenstein adalah faktor internal (internal drive) yang berhubungan dengan perasaan dibandingkan dengan intelktual seseorang.
It is difficult for humans to predict how they will behave in the future. A hot-cold empathy gap occurs when people underestimate the influence of visceral states (e.g. being angry, in pain, or hungry) on their behavior or preferences (Loewenstein, 2005)
Dari kutipan di atas, maka kita bisa paham, mengapa orang yang berada pada "hot" state cenderung berpikir secara irasional. Sedangkan orang yang berada pada "cold" state cenderung "menganggap remeh" visceral states tersebut terhadap preferensi perilaku orang yang berada pada kondisi hot state. Saat kita dalam kondisi yang tenang dan "baik-baik saja", kita akan cenderung mudah lupa untuk mengapesiasi bahwa orang lain juga bisa merasa marah, sedih, kesal, dan depresi. Lebih lengkapnya untuk baca publikasi George Loewenstein, "Hot-Cold Empathy Gap and Medical Decision Making", kalian bisa download jurnalnya di sini.
Dikutip dari laman parentingscience.com bahwa dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa orang tua yang cenderung percaya diri (dominan) secara rutin melakukan penilaian yang salah terhadap anxiety level yang anak-anak mereka.
research suggests that confident, upbeat parents routinely misjudge their children's anxiety levels.
Beberapa kali sempat dengar cerita, mungkin kalian pernah mengalami juga. Bahwa beberapa orang tua cenderung menilai kondisi kesehatan mental anak dari sisi religius. Menganggap bahwa kecemasan atau anxiety yang kita hadapi semata karena kita kurang beriman pada Tuhan. Walaupun pada kenyataanya, orang-orang paling religius di dunia pun dapat mengalami hal serupa. Sedikit kembali ke sejarah. Mungkin kalian pernah dengar kisah Siti Maryam, wanita tersuci yang kehormatannya tidak pernah dinodai. Kemudian tiba-tiba ia harus mengandung seorang bayi laki-laki, yang kemudian kita kenal sebagai Nabi Isa, a.s. Suatu hari, Siti Maryam mengalami depresi berat akibat tidak tahan dengan gunjingan orang lain terhadap dirinya. Sehingga, ia berdoa kepada Allah.SWT untuk mencabut nyawanya.
Di zaman modern ini, memang tidak ada lagi sosok Siti Maryam. Tetapi missjudging seperti ini tetap berlanjut bahkan lintas gender. Sayangnya, bahkan orang-orang yang melakukan ini justru orang-orang yang berada pada "ring 1" dalam circle kita. Orang-orang yang kita percaya seharusnya menjadi immune system dan support system kita selain diri kita sendiri.
***
Nah, itu tadi a little insight seputar "Hot-Cold Empathy Gap" dan "Mengapa Kita Mudah Marah?"
Semoga bisa jadi pembelajaran kita bersama untuk bisa lebih wise enough ketika mengutarakan sesuatu kepada orang lain, dengan memerhatikan kondisi mood, situasi, dan kondisi lawan bicara kita nantinya. Yang lebih penting lagi, supaya kita semua bisa jadi manusia yang mudah berempati terhadap sesama. No hate only love wins!
Last but not least, I think I need to post a beautiful quote down here.
No one is born hating another person because of the color of his skin or his background or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love. For love comes more naturally to the human heart than its opposite.
- Nelson Mandela
Long Walk to Freedom
See you on my next blog posts!
With love,
Bintang :)
Disclaimer
- Once again, I am not a psychologist or even a doctor.
- I wrote this article based on my personal experience, my surrounding people's experiences, and literature review mostly from Loewenstein (check out the Reference section).
- Please do not copy my writing without citation to my name and my page
Reference
Loewenstein, G. (2005). Hot-cold empathy gaps and medical decision-making. Health Psychology, 24(Suppl. 4), S49-S56. Dikutip dari laman https://www.behavioraleconomics.com/resources/mini-encyclopedia-of-be/hot-cold-empathy-gap/
No comments:
Holla! Thanks for reading my post. Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan terkait konten. Komen spam, annonymous, maupun berisi link hidup akan dihapus. Centang "Notify Me" agar kalian tahu kalau komennya sudah dibalas, yaa!