Darurat Krisis Iklim, Haruskah Kita Jadi Vegan? | Bintang Mahayana
Holla!
Apa kabar semuanya? Bagaimana kondisi cuaca di kota kalian? Panas menyengat sepanjang hari atau bahkan curah hujannya sudah mulai tinggi? Akhir-akhir ini rasanya emosi banget kalau lagi kerja tiba-tiba suhu udaranya kayak ngajak berantem. Hari ini bisa panas banget, tiba-tiba malemnya kedinginan karena hujan deras sampai pagi. Fenomena perubahan cuaca ekstrem ini memang sedang ramai diperbincangkan terkait kondisi darurat krisis iklim. Kemudian ramai juga nih, soal gaya hidup vegan yang katanya sih, bisa membantu menyelamatkan lingkungan. Apakah benar begitu?
Yuk, lanjut kepoin artikelnya!
Apa kabar semuanya? Bagaimana kondisi cuaca di kota kalian? Panas menyengat sepanjang hari atau bahkan curah hujannya sudah mulai tinggi? Akhir-akhir ini rasanya emosi banget kalau lagi kerja tiba-tiba suhu udaranya kayak ngajak berantem. Hari ini bisa panas banget, tiba-tiba malemnya kedinginan karena hujan deras sampai pagi. Fenomena perubahan cuaca ekstrem ini memang sedang ramai diperbincangkan terkait kondisi darurat krisis iklim. Kemudian ramai juga nih, soal gaya hidup vegan yang katanya sih, bisa membantu menyelamatkan lingkungan. Apakah benar begitu?
Yuk, lanjut kepoin artikelnya!
Sumber: Dokumentasi Pribadi/ Bintang Mahayana
Krisis Iklim Kian Tak Terbendung
Perihal krisis iklim ini sudah kian masif digaungkan oleh berbagai organisasi dunia bahkan oleh masyrakat secara individu. Kalau kata David Wallace dalam bukunya yang berjudul "The Unihabitable Earth" (Bumi Yang Tak Dapat Dihuni) :
Krisis iklim datang begitu cepat namun juga lambat. Begitu cepat hingga nyaris tak terhindarkan. Namun juga datang begitu lambat hingga kita tak sadar apa yang sedang mengancam kita.
Kalau dipikir-pikir, benar juga bukan? Terkadang orang-orang menjadi climate denial (orang-orang yang menampikkan fakta terhadap krisis iklim) karena mereka tidak benar-benar sadar akan bahaya apa yang sedang mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup di bumi lainnya. Tak sedikit yang menganggap bahwa penanggulangan krisis iklim ini hanyalah tanggung jawab para pemangku kepentingan (pemerintah dan elit global misalnya). Sehingga, kontribusi individu dinilai tak berarti.
Baca Juga: Tren Gaya Hidup "Frugal Living" Milenial dan Gen Z sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Tetapi memang itulah tantangannya. Mungkin kita semua, termasuk gue sendiri, sebagai Eco Blogger Squad perlu introspeksi. Mungkinkah pesan yang digaungkan selama ini menggunakan bahasa-bahasa yang terlalu sulit dimengerti sehingga justru kita lah yang menciptakan jarak atau "gap" pemahaman itu sendiri. Perlu kita sadari bahwa krisis iklim ini seharusnya menjadi proyek kemanusiaan global yang bisa direalisasikan dengan berbagai cara sesuai dengan perannya masing-masing dalam masyarakat. Bahwa krisis iklim ini bukan hanya milik para kaum intelektual. Apalagi bagi para pemangku kepentingan belaka. Namun, sebenarnya apa, sih yang sedang dipermasalahkan ini?
PBB Prediksi Jakarta dan Sekitarnya Tenggelam Tahun 2030
Tentunya akan banyak sekali masalah krisis iklim yang bisa dibahas. Namun, pada pembahasan kali ini gue mau menyorot salah satu fenomena mengejutkan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangan di berbagai media. Salah satunya yaitu data yang dikeluarkan oleh IPCC yang merupakan singakatn dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau dalam Bahasa Indonesia bisa disebut dengan "Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim" yang memprediksi bahwa Jakarta dan sekitarnya diprediksi akan tenggelam di tahun 2030.
Sumber Foto: merdeka.com; Arie Basuki, 2013
Hal ini juga dikutip dalam buku The Uninhabitable Earth tadi. Sebenarnya tidak hanya Jakarta. Tetapi juga berbagai kota di seluruh dunia. Namun, Jakarta sendiri dinobatkan sebagai "The Fastest Sinking City" atau "Kota Tercepat Tenggelam" dalam buku tersebut, dikutip dari BBC. Maksudnya tenggelam bagaimana? Tenggelam di sini maksudnya adalah level tanahnya mengalami penuruna dari rata-rata level banjir terendah tahunan. Jadi, bisa dibayangkan bukan bagaimana Jakarta bisa tenggelam kalau level tanahnya selalu turun? Hal ini juga pernah masuk dalam penelitian Tugas Akhir sewaktu kuliah dulu. Ternyata, Jakarta mengalami penurunan level tanah turunan hingga mencapai 14cm/ tahun.
Dalam situs NASA Earth Observatory, bahkan disebutkan kondisi terburuknya pada tahun 2300 level laut dapat mencapai 5 meter lebih tinggi daripada daratan. Hal ini mungkin tidak akan terjadi jika seluruh negara di dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon nasional. Bukti pentingnya komitmen pengurangan emisi karbon terhadap kontribusinya pada level permukaan laut dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Proyeksi perbandingan level permukaan laut dan level emisi global tahun 1900-2300
Sumber Gambar: NASA Earth Observatory, 2021.
Sumber Gambar: NASA Earth Observatory, 2021.
Haruskah Kita Menjadi Vegan Untuk Selamatkan Lingkungan?
Beberapa waktu lalu sempat diskusi bareng Eco Blogger Squad dan Kak Anggi dari Madani Berkelanjutan ID dengan tajuk "Bumi Semakin Panas: Kode Merah Bagi Kemanusiaan". Dalam sesi Q&A, gue sempat menanyakan soal gaya hidup vegan yang mulai banyak dighaungkan di masyarakat. Berdasarkan informasi yang dipaparkan dalam presentasi Kak Anggi, salah satu cara kita mengurangi emisi gas rumah kaca. Di Amerika Serikat sendiri sempat ramai diperbincangkan perihal proses produksi daging yang diklaim menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang buruk bagi lingkungan. Terlebih lagi karena diproduksi dalam jumlah yang masif. Konsumsi daging secara global bisa dikatakan cukup variatif seperti pada diagram di bawah ini.
Peta Persebaran konsumsi daging secara global
Sumber Gambar: NASA Earth Observatory, 2021.
Namun, faktanya berdasarkan artikel yang dilansir dari situ theconversation.com menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat pada tahun 2016, sumber terbesar emisi GRK AS adalah produksi listrik (28% total emisi), transportasi (28%), dan industri (22%). Sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang 9% sedangkan sektor peternakan hewan menyumbang kurang dari setengahnya, yaitu sebesar 3,9%. Jadi, sebenarnya mengurangi atau tidak mengonsumsi daging sama sekali bukanlah jalan pintas untuk menyelamatkan lingkungan. Namun, salah satu upaya kecil yang bisa dilakukan individu untuk mengurangi emisi GRK. Secara global, dampak yang paling signifikan adalah dengan mengendalikan 3 sektor utama tadi.
- Bintang Mahayana, 2021
Reference
Mitloehner, Frank M. 2019. Dampak Makan Daging terhadap Perubahan Iklim Sebenarnya Tidak Sebesar yang Kita Bayangkan. Dalam The Conversation. Diakses pada 21 Oktober 2021
Voiland, Adam. 2021. Anticipating Future Sea Level. Dalam NASA Earth Observatory. Diakses pada 21 Oktober 2021.
nah, sebenarnya peternakan kan emang menyumbang GRK ya dan cara nguranginnya bisa dijadikan biogas kotorannya.. tapi kalo jadi vegan aku ga sanggup kak hehe
ReplyDeleteHalo Kak Lita! Thank you sudah mampir yaa. Betul, skg udh banyak yg manfaatin jadi bio gas. Aku sendiri jg ga sanggup jadi vegan. Meskipun ada hari di mana aku hanya konsumsi sayuran aja tp tetep suka makan daging, ikan, dan segala turunannya. Jadi, sebenarnya narasi vegan lifestyle ini balik lg ke individunya mau melihat dari sisi mana, begituu hehehe.
Delete